Jumat, 31 Maret 2017

TUBERKULOSIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Tuberkolusis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah serius diberbagai bagian dunia.di indonesia tuberkolusis paru menjadi penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan(Ahmad, 2008).
WHO (World Health Organization) menyatakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi Tuberkulosis (TBC atau TB). Tiga juta orang meninggal setiap tahun karena serangan TBC. Artinya 340 orang meninggal setiap jam. TBC paling banyak membunuh umat manusia disbanding jenis penyakit menular manapun (sihombing, 2008). 
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahunnya 150 ribuan orang meninggal akibat tuberculosis (TB). Artinya, setiap hari ada sekitar 300 orang yang meningggal akibat TB di Negara kita. Diperkirakan jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah penderita TB dunia. Di negara kita penyakit Tb merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi (Aditama, 2006).
Tuberkolusis sampai saat ini masih merupakan problem kesehatan yang masih sulit terpecahkan. Tuberkolusis paru masih merupakan suatu ancaman terutama pada negara- negara yang sedang berkembang. Angka kematian sejak awal abad ke-20 mulai berkurang sejak diterapkannya prinsip pengobatan dengan perbaikan gizi dan tata cara hidup penderita tuberkolusis paru (Admin,2009). 
Tuberkolusis paru menyerang lebih dari 75% penduduk usia produktif, 20-30% pendapatan keluarga hilang pertahunnya akibat tuberkolusis paru. Selain itu seorang penderita aktif tuberkolusis paru akan menularkan kepada 20-25 orang yang efektif, 50-60% penderita tuberkolusis akan meninggal. Penyakit tuberkolusis menjadi masalah sosial karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia produktif, kelompok sosial ekonomi rendah, dan tingkat pendidikan rendah, selain itu pengobatan relatif jangka panjang 6-8 bulan(Yoannes, 2002). 
Alasan gagalnya pengobatan karena penderita tidak melaksanakan minum obat secara teratur, ini karena pengetahuan masyarakat yang kurang tentang pentingnya minum obat teratur, dan dalam pencegahan penderita dengan cepat diinstruksikan tentang pentingnya sikap higienis termasuk perawatan mulut, menutup mulut dan  hidung ketika batuk dan bersin, membuang tisu dengan cermat dan mencuci tangan(Fami, 2009). Membina kerja
sama baik antara petugas dan penderita,dimana bila sikap petugas baik harus diimbangi dengan sikap konsumen yang baik juga, untuk itu sebenarnya petugas perlu mencek secara langsung apakah saran yang mereka berikan memang betul-betul dilakukan penderita      (Nurmala, 2002).
Berdasarkan penelitian tahun 2008 yang lalu,pengetahuan tentang penderita tuberkulosis dengan keteraturan minum obat mempunyai hubungan berarti pengetahuan merupakan faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat tuberkolusis paru(Fami, 2009). Secara umum komitmen dibangun atas kesadaran tentang adanya program penanggulangan tuberkolusis paru dan pengetahuan tentang adanya program penanggulangan tuberkolusis paru, karena itu harus ada sistem yang menjamin penderita tuberkolusis paru mau menyelesaikan pengobatannya, dan WHO menyatakan sistem DOTS (directly observed therapy) yang paling ampuh(Aditama, 2006). Tujuan penanggulangan tuberkolusis adalah menggunakan sumber daya yang terbatas untuk mencegah, mendiagnosis dan mengobati penyakit dengan cara yang paling baik dan ekonomis(Fami, 2009). Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan masyarakat mengenal bahaya penyakit tuberkolusis paru dan cara penularannya, dan akibat kegagalan pengobatan tuberkolusi paru(Ainur, 2008).  Banyaknya masyarakat di Gunung Para yang menderita tuberkolusis paru tidak tuntas dan tidak menjalani pengobatan tuberkolusis paru dan di desa itu tiap tahunnya peningkatan tuberkolusis paru meningkat 5-10%.
Terlihat dari tidak terputusnya rantai penularan tuberkolusis paru dan peningkatan angka kejadian tuberkolusis paru di desa tersebut. Dari uraian latar belakang di atas menimbulkan minat peneliti untuk mengetahui lebih jauh mengenai ”hubungan pengetahuan penderita tuberkulosis paru dengan tuberkulosis paru terhadap keteraturan minum obat di Desa Gunung Para, Kec. Serdang Berdagai Tahun 2010.





B.      TUJUAN
Tujuan Umum 
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan penderita tuberkolosis paru terhadap keteraturan minum obat di Desa Gunung Para, Kecamatan Dolok Merawan, Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010.

2. Tujuan Khusus
1.      Mengindentifikasi pengetahuan penderita tuberkulosis paru di Desa Gunung Para, Kecamatan Dolok Merawan , Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010.
2.       Mengidentifikasi keteraturan minum obat penderita tuberkolusis paru di Desa Gunung Para, Kecamatan Dolok Merawan, Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010.
3.       Mengidentifikasi hubungan pengetahuan penderita tuberkolusis paru terhadap keteraturan minum obat di Desa Gunung Para, Kecamatan Dolok Merawan, Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010. 

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      PENGETAHUAN
I.                    Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia(soekidjo, 2003). Pengetahuan adalah penginderaan manusia atau hasil tahu sesorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya(fami, 2009). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seorang.

Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Penelitian rogers (1974), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru(berprilaku baru), didalam diri orang tersebut proses yang berurutan, yakni:
a.  Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlabih dahulu terhadap stimulus(objek). 
1. Interest (mersa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut, disini sikap subjek sudah mulai timbul. 
2. Evaluation (menimbang-nimbangnya), terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 
3. Trial, dimana subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 
4. Adaption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kasadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. 





Namun demikian dari perilaku selanjutnya rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas(soekidjo, 2003).
b.  Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu: 
Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang tela dipelajari sebelumnya, mengingat kembali termasuk(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan atau ransangan yang telah diterima. 
2. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara luas.
3. Aplikasi (aplikation), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata. 
4. Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan unutk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen- komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 
5. Sintesis (syntesis), menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian- bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 
6. Evaluasi (evalution), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilain terhadap suatu materi atau objek. 
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau respoen.

c.  Factor- factor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang: 

a. Pendidikan, pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memehami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai- nilai yang baru diperkenalkan.

b. Pekerjaan, lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. 

c. Umur, dengan bertanbahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis(mental). Pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan pertama, perubahan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya cirri-ciri lama, keempat,. Timbulnya cirri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau mental tarap berpikir sesorang semakin matang dan dewasa. 

d. Minat, sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan padaq akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. 

e. Pengalaman, adalah suatu kejadian yang pernah di alami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula membentuk sikap positif dalam kehidupannya.


f. Kebudayaan lingkungan sekitar, kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukkan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkuin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang. 

g. Informasi, kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat sesorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru(mubarak, 2007).
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (perilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya, orang akan melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) apabila ia tahu apa tujuan dan manfaat bagi keasehatan atau keluarganya, dan apa bahaya- Bahayanya bila tidak melakukan PSN tersebut. Indicator-indicator apa yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi: 
1. Penyebab penyakit 
2. Gejala atau tanda- tanda penyakit
3. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan
4. Bagaimana cara penularannya
5. Bagaimana cara pencegahan termasuk imunisasi, dan sebagainya. 
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, meliputi:
1. Jenis- jenis makanan yang bergizi
2. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatannya
3. Pentingnya olahraga bagi kesehatan
4. Penyakit- penyakit atau bahaya merokok, minum- minuman keras, narkoba, dan sebagainya.
5. Pentingnya istrahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagaiman bagi kesehatan, dan sebagainya. 
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
1. Manfaat air bersih
2. Cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang sehat, dan sampah
3. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat
4. Akibat polusi(polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan sebagainya(soekidjo, 2007).




B.      TUBERKOLOSIS PARU
I.                    Pengertian
Tuberkolusis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yang bernama mycobacterium tuberkolusa(aditama, 2006).  Penyakit tb. paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberkolusis(yoannes, 2008). Tuberkolusis Paru merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian tinggi, angka kejadian penyakit, diagnosis dan terapi yang cukup lama(Avicenna, 2009).  Penyakit TBA merupakan masalah yang besar bagi Negara berkembang termasuk Indonesia, karena diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang, dan 75% darin penderita TBC tersebut adalah kelompok usia produktif(15-50 tahun)(yoanns, 2008). 
II.                  Etiologi
Mycobacterium tubercolusis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4mm dengan tebal 0,3-0,6mm. sebagian besar komponen mycobacterium adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu bertahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan factor fisik. Microorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu micobacterim tuberkolusis senang tinggal di daerah apek paru- paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkolusis. 
III.               Factor- factor yang memepengaruhi tuberkolusis
Adapun factor- factor yang mempengaruhi kejadian tuberkolusis diantaranya: 
a.       Factor Ekonomi, keadaan social yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan karena ketidak mampuan dalam mengatasi masalah kesehatan. 
Masalah kemiskinan akan sangat mengurangi kempuasn masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, pemukiman dan lingkungan sehat, jelas ini semua akan mudah menumbuhkan penyakit tuberkolusis. 
b.      Status Gizi
Ini merupakan factor yang pentin g dalam timbulnya penyakit tuberkolusis. Berdasarkan hasil penelitiab kejadian tuberkolusis menunjukan bahwa penyakit yang bergizi normal ditemukan kasus lebih kecil dari pad status gizi kurang dan buruk.
c.       Status Pendidikan, latar belakang pendidikan memepengaruhi penyebaran
penyakit menular khususnya tuberkolusis. Berdasarkan hasil penelitian mengatakan semakin rendah latar belakang pendidikan kecenderungan terjadi kasus tuberkolusis, hal ini factor terpenting dari kejadian TBC.

Sedangakan menurut departemen kesehatan tbc di pengaruhi oleh : 
1. Status social ekonomi
2. Kepadatan penduduk
3. Status gizi
4. Pendidikan
5. Pengetahuan
6. Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan
7. Keteraturan berobat


IV.               Tanda dan gejala TBC
1.      Batuk
Gejala batuk timbul paling dini yang merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat merokok.proses yang paling ringan ini menyebabakan secret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari.
2.      Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perlunakan.
3.      Nyeri Dada
Nyeri dada pada tb. Paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas. 
4.      Batuk Darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak- bercak darah, gumplan darah, atau darah segar dalam jumlah banyak.
5.      Wheezing
Weezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang di sebbkan oleh secret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granula, ulserasi.
6.      Dispneu
Merupakan late syntom dari proses lanjut tb. Paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed/ trombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpul monal.

Gejala-gejala umum

1. Panas badan, merupakan gejala yang paling sering dijumpai dan paling penting sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari.
2. Menggigil, dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tifdak diikuti penulran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi suatu reaksi umum yang lebih hebat.
3. Keringat malam, keringat malam bukanla gejala yang patognomonis untuk penyakit tb. Paru. Keringat malam umum nya baru timbul bila prose telah lanjut, kecuali pada orang- oaring dengan paso motor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini.nausea, thakikardia,dan sakit kepala timbul bila ada panas.
4. Gangguan menstruasi sering terjadi bila tb. Paru sudah menjadi lanjut.
5. Anoreksia dan penurunen berat badan merupakan manifestasi toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
6. Lemah Badan gejala- gejal ini dapat di sebabkan olehkerja berlebihan,kurang tidur dan keadaan sehari hari yang kurang menyenangkan (fami, 2009).





V.                  KLASIFIKASI

a. Tuberkolusis paru: tuberkolusis parun adalah tuberkolusis yang menyerang jaringan paru, misalnya pleura(selaput paru),berdasarkan pemeriksaan dahak, tb paru dibagi menjadi 2 kelompok: tuberkolusis. paru positif dan tuberkolusis paru negative. 

b. Tubrkolusis ekstra paru: adalah tuberkolusis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelami dan lain- lain. 

VI.               Cara penularan dan resiko penularan 

a. Cara penularan 
Sumber penularan adalah penderita BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam benruk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh, kuman tersebut menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas atau penyebaran langsung ka bagian-bagian tubuh lainnya. 
Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

b. Resiko penularan (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indoneia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Bila suatu ARTI sebesar 1 % berarti setiap tahun dari 1000 orang ada 10 orang yang terinfeksi, dan hanya 10 % dari yang terinfeksi tersebut yang menjadi penderita TB , terutama yang daya tahan tubuhnya rendah. Maka dapat diperkirakan didaerah tersebut setiap 1000 penduduk terdapat 1 orang penderita TB per tahun (Depkes, 2005).

Berdasarkan tingkat keparahannya, tuberkolusis paru ekstra dibagi 2 kelompok:
a. Tuberkolusis ekstra paru ringan: missal tb kelenjar limfe, pleuritis eksudat unilateral, tulang(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. Tuberkolusis ekstra paru berat: missal meningitis, miller, pericarditis, peritonitis, pleritis eksudat duples, tuberkolusis tulang belakang, tuberkolusis usus, tuberkolusis saluran kencing dan alat kelamin.  Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita, yaitu: a. Kasus baru: adalah penderita yang belum pernah di obati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).  b. Kambuh (relaps): adalah penderita tuberkolusis yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi Tuberkolusis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil hasil pemeriksaan dahak BTA positif.  c. Pindahan (transfer in): adalah penderita tuberkolusis yang sedang mendapatkan pengobatan disuatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan.  d. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out): adalah penderita tuberkolusis yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif setelah putus berobat 2 bulan atau lebih. e. Gagal : adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. 

VII.             Pemeriksaan Dahak
a.       Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai kebersihan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa, yang dikenal dengan konsep sewaktu- pagi sewaktu (SPS) :  S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot ahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): Dahak di kumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot di bawa dan i serahkan sendiri kepada petugas kesehatan.  S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua,saat menyerahkan dahak pagi.  Diagnosis tuberkolusi paru pada orang dewasa di tegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkolusis (BTA). Pada program tuberkolusis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan ahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Setelah berbagai data dikumpulkan maka dokter akan membuat klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkolusis, tergantung dari: 
1.           Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau diluar paru
2. Bakteriologi(hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): ditemukan BTA(disebut BTA positif) atau tidak(disebut BTA negatif).
3. Tingkat keperahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan tuberkolusis sebelumnya: baru atau sudah pernah di obati(Avicenna, 2009). 
b.       Pemeriksaan Laboratorium
1. Foto dada
2. Pemeriksaan kuman TBC: sputum, hapusan laring, kumbah lambung(aspirasi
cairan lambung), bronkoskopi. 
3. Test tuberculin
4. Biopsi pleura
5. LED umunya meningkat(mubin, 2001). 

c.       Pemeriksaan biakan 
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih pekat terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: 
1. Pasien TB yang masuk tipe dalam pasien kronis 
2. Pasien TB ekstra paru dan pasien TB pada anak 
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda. 

d.      Pemeriksaan Tes Resistensi 

Tes restensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuiai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehingga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah. 

VIII.          Doagnosa TB

Diagnosis TB paru
- semua suspek tb diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu – pagi-sewktu ( spss).
 - Diagnosis tb paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman tb (pta). Pada program tb nasional, penemuan pta melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto thorak, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnposis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
- Tidak dibenarkan mendiagnosis tb hanya berasarkan pemeriksaaan foto thorak saja. Foto thorak tidak selalu memberikan gambaran yang khass pada tb paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
- Gambaran kelainan radiogik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Diagnosis TB ekstra paru
- gejala dan penyuluhan tergantung organ yang terkena misalnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pad TB pleura (pleuritis), pembebasaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenifis TB dan deformitas tulang belakang ( gibbus) pada spondilitis tb dan lain-lainnya.
- diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sdangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat ( presuntif) dengan menyingkirkan penyakit lain.
Ketepatan disgnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto thorak dan lain-lain.

IX.                Pengobatan

a. Pengertian
Riwayat pengobatan tuberkolusis telah bermula bahkan sejak sebelum robet koch menemukan basil tuberkolusis di tahun 1882 yang lalu. Mula- mula hanya dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi keluhan yang ada, antara lain dengan mandirikan sanatorium- sanatorium di berbagai tempat. Masa ini dikenal sebagai” battle against symtom”. Setelah itu, berkembang pula upaya pembedahan, yang pada dasarnya adalah menangani kavitas sehingga disebut era” battle against cavity”. Di tahun 1940an barulah ditemukan obat streptomisin, yang kemudian dilanjutkan dengan obat lain bernama INH, pirazinamid, etambutol dan rifamfisin yang memulai era paling barundalam penanganan tuberkolusis, yaitu” battle against tuberkolusis bacilly. 
b. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, menegah kekambuhan, memutusakn rantaian penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. 
c. Jenis, sifat dan dosis OAT 

Jenis OAT
Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) 
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5
(4-6) 10 
(8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 
(8-12) 10 
(8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25
(20-30) 35
(30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15
(12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15
(15-20) 30
(20-35)

Kini pengobatan tuberkolusis dilakukan dengan prinsip sebagai berikut :
1. Obat harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. 
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung DOTS. 
3. Pengobatan tuberkolusis diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal intensif dan tahap lanjutan. 
Tahap awal(intensif)
a. Pada tahap intensif pasien mendapat 3-4 obat sekaligus setiap hari selama 2 bulan dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 1-2 jam.
Tahap lanjutan
a. Tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, 2 macam saja. Namun alam jangka waktu yang lebih lama biasanya lama biaanya 4 bulan. 
b. Obat dapat di berikan setiap hari maupun secara intermitten, beberapa kali dalam 1 minggu. 
c. Tahap lanjutan penting adalah untuk mencegah terjadinya kekembuhan.
Beberapa contoh paduan pengobatan yang kini di pakai adalah sebagaimana di sampaikan berikut ini. 


Kategori -1 yang diberikan pada:
a. Pasien baru tuberkolusis paru BTA positif.
b. Pasien tuberkolusis paru BTA negatif dengan gambaran foto torak sesuai tuberkolusis
c. Pasien tuberkolusis diluar paru
Pada pasien yang masuk kategori 1 ini dalam 2 bulan pertama mendapat tablet rifamfisin, INH, pirazinamid dan etambutol setiap hari dan lalu dilanjutkan 4 bulan dengan rifamfisin
dan INH, baik setiap hari maupun 3 kali seminggu. 
Kategori 2 yang diberikan pada: 
a. Pasien yang sudah sembuh lalu kambuh lagi
b. Pasien gagal, yang tidak sembuh di obati
c. Pasien dengan pengobatan setelah sempat berhenti berobat. 

Pada pasien yang masuk kategori 2 ini dalam 2 bulan pertama mendapat tablet rifamfisin, INH, PIRAZINAMID, dan ETAMBUTOL setiap hari disertai suntikkan streptomisin, lalu dilanjutkan dengan tablet rifamfisin, INH, pirazinamid, dan etambutol setiap hari selama 1 bulan dan lanjutkan 5 bulan lagi dengan rifamfisin dan INH 3 kali seminggu(Aditama, 2006). 
X.                  Efek samping OAT dan penatalaksanaannya
Tabel: efek samping ringan OAT
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak nafsu makan, mual,
Sakit perut Rifampisin Semua OAT di minum malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamide Beri aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakardi kaki INH Beri vitamin B6 (Piridoxin) 100mg per hari
Warna kemerahan pada air seni (urine) Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu
penjelasan kepada pasien
Tabel: efek samping berat OAT
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-muntah (permulaan ikterus karena obat) Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan rifampisin

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping ”gatal dan kemerahan kulit”
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti histamin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kuli. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

















BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian mengenai hubungan pengetahuan Tuberkolusis Paru di Desa Gunung Para Kec. Dolok Merawan, Kab Serdang Bedagai melalui proses pengumpulan data yang dilakukan pada tanggal 14 Juli di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang terhadap 15 orang responden.
a. Kelompok umur
Tabel Distribusi Responden berdasarkan umur di Desa Gunung Para Kec, Dolok Merawan,
Kab, Serdang Bedagai Tahun 2010.
Umur (tahun) Jumlah Persentase
21-31 4 26,7 %
32-41 5 33,3 %
42-51 3 20 %
52-61 2 13,3 %
62-71 1 6,7 %
Total 15 100

Berdasarkan tabel diatas mayoritasnya pada umur 32-41 tahun (33,3 %),dan minoritas
pada umur 62-71 tahun.(6,7 %)
b. Jenis kelamin 
Tabel distribusi responden berdasarkan jenis kelami di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010.
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 13 86,7 %
Perempuan 2 13,3 %
Jumlah 15 100 %

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat mayoritasnya pada laki-laki dan minoritasnya pada perempuan.
c. Pendidikan Terakhir 
Tabel Distribusi responden berdasarkan pendidikan di Desa Gunung Para Kec.Dolok
Merawan Kab Serdang Bedagai Tahun 2010.
Pendidikan Jumlah Persentase
Tidak Sekolah 0 –
SD 2 13,3 %
SMP 9 60 %
SMA 4 26,7 %
Perguruan Tinggi 0 –
Total 15 100 %

Berdasarkan tabel diatas mayoritasnya pada pendidikan SMP yaitu 9 orang (60%) dan minoritasnya pada responden yang berpendidikan SD yaitu 2 orang (13,3%)

Berdasarkan kuesioner dengan menggunakan pengkajian data Tabel Pengkajian Pengetahuan dan keteraturan minum obat pasien di Desa Gunung Para Kec dolok merawan, Kab Serdang Bedagai Tahun 2010
No Pengetahuan Keteraturan X- Y1-Y1 X2 Y2 XY
1 8 6 1,4 1,2 1,96 1,44 1,68
2 7 5 0,4 0,2 0,16 0,04 0,08
3 5 4 -1,6 -0,8 2,56 0,64 1,28
4 10 6 3,4 11,56 11,56 1,44 4,08
5 5 4 -1,6 2,56 2,56 0,64 1,28
6 7 5 0,4 0,2 0,16 0,04 0,08
7 9 5 2,4 0,2 5,76 0,04 0,48
8 6 4 -0,6 -0,8 0,36 0,64 0,48
9 6 4 -0,8 -0,8 0,36 0,64 0,48
10 9 6 1,2 1,2 5,76 1,44 2,88
11 8 6 1,4 1,2 1,96 1,44 1,68
12 4 4 -2,6 -0,8 6,76 0,64 2,08
13 9 5 2,4 0,2 5,76 0,04 0,48
14 3 4 -3,6 -0,8 12,96 0,64 2,88
15 3 4 -3,6 0,8 12,96 0,64 2,88
Jlh 99 72 0 0 71,6 10,4 22,8
Rata-rata X =99:15= 6,6
Rata-rata Y =72:15= 4,8
= 71,6
= 10,4
= 22,8



1. Hasil Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian untuk mencari hubungan pengetahuan penderita
tuberkulosis paru terhadap keteraturan minum obat.
Jumlah responden pada penelitian sebanyak 15 orang , berdasarkan desain yang bersifat
asosiatif , kemudian responden di beri lembar kuesioner yang bersifat tertutup pada sekali
pertemuan dengan responden. Kemudian hasil discoring dan diuji dengan uji korelasi prodact moment Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengolahan data pada hasil kuesioner responden di dapat hasil hitung pada pengetahuan terhadap keteraturan minum obat sebesar 0,835. Pengetahuan tentang TB paru dapat juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang memberi pengaruh positif dalam penyembuhan, hal ini sesuai dengan di kemukakan oleh depkes RI, 2002 bahwa pendidikan yang rendah dapat sebagai penyebab keterbatasan pengetahuan. 
Sama halnya dengan pendapat Notoatmodjo (2003), bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatau objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seorang. Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan mempunyai hubungan terhadap keteraturan minum obat di desa Gunung Para, Kec. Dolok Merawan, Kab Serdang Bedagai terlihat dari r hitung > r tabel ( r hitung : 0,835 > r tabel : 0,514) dengan taraf kesalahan 5 %.Berarti ada hubungan pengetahuan penderita Tb paru terhadap keteraturan minum obat di Desa Gunung Para Kec,Dolok Merawan Kab Serdang Bedagai (Ha diterima).
2.                  Keterbatasan Penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti mempunyai keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian yaitu:
1. Keterbatasan dalam hal pengumpulan responden karena responden di ambil penderita yang rawat jalan maka saat peneliti datang untuk meneliti dan membagi kuesioner responden tidak ada di puskesmas, maka peneliti harus mendatangi rumah responden klien.
2. Keterbatasan dalam kuesioner, instrumen yang digunakan peneliti adalah kuesioner terstruktur, jawaban yang di berikan masyarakat hanya berdasarkan pertanyaan kuesioner, maka tidak terlalu menjamin kebenaran atas jawaban responden tersebut.
3. Peneliti juga mempunyai keterbatasan dalam jumlah variabel yang diteliti. Masih ada variabel–variabel independen yang mempunyai hubungan variabel dependen dalam penelitian ini yang tidak di teliti karena adanya keterbasan biaya maupun tenaga yaitu motivasi, pendidikan, pakerjaan dan lain. 


















BAB IV
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Penelitian yang dilakukan hanya sehari dengan jumlah responden 15 orang yang mempunyai penyakit tuberkulosis paru di Dsa gunung Para Kec Dolok Merawan Kab Serdang Bedagai Tahun 2010. Berdasarkan dari hasil kuesioner yang di bagikan kepada responden maka hasilnya ialah hipotesa alternatif (Ha) diterima atau ada hubungan antara pengetahuan penderita tuberkulosis paru terhadap keteraturan minum obat di Desa Gunung Para Kec, Dolok Merawan Kab Serdang Bedagai Tahun 2010.

B.      SARAN
Jika kita batuk setidaknya kita menutup mulut agar percikan dahak tidak menyebar ke udara dan tidak menular masyarakat yang berada di sekitar kita.


















DAFTAR PUSTAKA

Naga S. Sholeh 2014,  Paduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit Diva Press, yogyakarta
Muttaqin Arif 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Dr.Widyono, 2011. Penyakit Tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan & Pemberantasannya, edisi ke 2, Penerbit Erlangga, Jakarta
Barbara, C.L. 1996. Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses keperawatan)    Bandung
Doengoes, M. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC